Membaca Realitas 2025, Menata Pilihan 2026 di Provinsi Papua Pegunungan

Opini: Timmi Gurik, SH. M.Th.
Pemerhati Pembangunan Papua Pegunungan

” Realitas yang Tak Bisa Disederhanakan “

Papua Pegunungan bukan wilayah yang bisa dibaca hanya lewat grafik dan angka statistik. Di balik alam yang indah, ada realitas sosial yang rapuh, pelayanan publik yang belum merata, serta dinamika politik yang sensitif dan berlapis.

Tahun 2025 menjadi momen bercermin bukan untuk saling menyalahkan, tetapi untuk membaca secara jujur apa yang sudah berjalan, apa yang tertinggal, dan apa yang perlu ditata ulang.

Di Papua Pegunungan, jarak bukan sekadar hitungan kilometer.
Ia adalah soal waktu, biaya, bahkan nyawa. Akses bukan hanya jalan dan bangunan, tetapi juga rasa aman serta kepercayaan masyarakat.

Karena itu, membangun wilayah ini tidak bisa dengan pendekatan seragam dan tergesa.

Yang dibutuhkan adalah pendekatan kontekstual hadir, memahami, dan berpijak pada pengalaman hidup orang Papua Pegunungan sendiri.

Dari titik inilah, enam sektor kunci perlu dibaca. Bukan sebagai daftar masalah, melainkan sebagai peta jalan menuju solusi.

1. Pemerintahan: Antara Struktur dan Kehadiran

Secara struktural, pemerintahan di Papua Pegunungan sudah terbentuk. Namun, kehadiran negara belum selalu dirasakan secara fungsional, terutama di kampung-kampung terpencil. Masih ada jarak antara perencanaan di atas kertas dan pelaksanaan di lapangan.

Kapasitas aparatur, rotasi SDM yang cepat, serta pengawasan yang belum konsisten membuat pelayanan publik kerap lambat dan tidak merata.

Padahal masyarakat tidak menuntut hal rumit mereka butuh pemerintahan yang sederhana, responsif, dan mudah dijangkau.

Ke depan, penguatan tata kelola berbasis wilayah menjadi kunci. Desentralisasi operasional, pemanfaatan teknologi sederhana untuk layanan dasar, serta pelibatan tokoh adat, gereja, dan komunitas lokal sebagai mitra aktif pemerintah harus diperkuat. Pemerintah tidak cukup hadir lewat kantor, tetapi lewat fungsi.

2. Pendidikan: Akses, Mutu, dan Konteks

Pendidikan di Papua Pegunungan bukan sekadar soal membangun sekolah. Tantangan sesungguhnya ada pada keberlanjutan proses belajar. Banyak sekolah berdiri, tetapi kegiatan belajar-mengajar tidak berjalan optimal.

Keterbatasan guru, rendahnya kehadiran siswa, faktor geografis, kesejahteraan tenaga pendidik, hingga persoalan bahasa pengantar menjadi penghambat utama.

Anak-anak Papua Pegunungan membutuhkan pendidikan yang tidak mencabut mereka dari akar budaya, tetapi sekaligus mempersiapkan mereka menghadapi masa depan.

Solusinya bukan pendekatan instan. Afirmasi guru lokal, insentif berbasis keberlanjutan, serta kurikulum kontekstual yang mengintegrasikan pengetahuan lokal dengan literasi dasar perlu menjadi prioritas.

Pendidikan berbasis komunitas dengan peran keluarga, gereja, dan tokoh adat harus diperkuat agar sekolah tidak berjalan sendirian.

3. Kesehatan: Layanan dan Kepercayaan

Sektor kesehatan adalah yang paling sensitif, karena langsung menyangkut hidup dan mati. Di Papua Pegunungan, tantangan kesehatan bukan hanya fasilitas, tetapi juga distribusi tenaga medis, ketersediaan obat, dan tingkat kepercayaan masyarakat.

Banyak wilayah masih bergantung pada tenaga kesehatan yang tidak menetap. Dampaknya terasa pada layanan ibu dan anak, gizi, serta penanganan penyakit menular.

Di sisi lain, pendekatan medis yang kurang sensitif budaya sering menimbulkan jarak antara petugas dan masyarakat.

Penguatan tenaga kesehatan lokal, klinik bergerak berbasis wilayah, serta integrasi pendekatan medis modern dengan kearifan lokal adalah jalan tengah yang realistis. Kepercayaan adalah kunci. Tanpa kepercayaan, fasilitas sebaik apa pun tidak akan digunakan.

4. Ekonomi: Bertahan atau Bertumbuh

Ekonomi Papua Pegunungan masih didominasi pola subsisten. Masyarakat bekerja keras untuk bertahan hidup, tetapi belum memiliki ruang yang cukup untuk bertumbuh.

Isolasi wilayah membuat harga barang mahal, sementara hasil produksi lokal sulit menjangkau pasar.

Padahal potensinya besar pertanian dataran tinggi, kopi, peternakan, umbi-umbian, dan ekonomi berbasis komunitas.

Masalahnya bukan pada sumber daya, melainkan pada ekosistem pendukung yang belum terbentuk: akses modal, transportasi, pendampingan, dan pasar.

Sudah saatnya paradigma diubah, dari bantuan konsumtif menuju pemberdayaan produktif.

Koperasi kampung, BUMDes yang kontekstual, serta kemitraan dengan sektor non-negara bisa menjadi jembatan agar ekonomi lokal naik kelas tanpa kehilangan nilai komunalnya.

5. Infrastruktur: Lebih dari Beton

Selama ini, infrastruktur sering diukur dari panjang jalan dan jumlah bangunan.

Padahal esensinya adalah konektivitas hidupmenghubungkan masyarakat dengan layanan, pasar, dan harapan.

Tidak sedikit infrastruktur dibangun dengan biaya tinggi, tetapi kurang berfungsi karena minim perawatan, persoalan keamanan, dan rendahnya partisipasi masyarakat. Jalan rusak, bandara perintis yang tak optimal, hingga fasilitas publik terbengkalai menjadi pelajaran penting.

Ke depan, infrastruktur harus tepat guna skala kecil hingga menengah, sesuai kebutuhan lokal, mudah dirawat, dan melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan sampai pemeliharaan. Infrastruktur bukan monumen, melainkan alat hidup.

6. Sosial, Politik, dan Hukum/HAM: Ruang yang Harus Dijaga

Dinamika sosial-politik di Papua Pegunungan tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang, identitas, dan pengalaman kekerasan.

Isu keamanan, keadilan, dan HAM selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Ketegangan sering muncul akibat minimnya ruang dialog, miskomunikasi, dan pendekatan yang terlalu administratif. Hukum negara kerap dipersepsikan jauh, sementara keadilan adat justru lebih dipercaya.

Pendekatan ke depan harus menjadikan dialog sebagai fondasi. Negara, masyarakat, dan aktor non-negara perlu berbicara dalam bahasa yang sama: bahasa penghormatan. Penyelesaian konflik berbasis komunitas, transparansi hukum, serta perlindungan HAM yang konsisten akan menciptakan rasa aman yang berkelanjutan.

2025 sebagai Cermin, 2026 sebagai Pilihan

Tahun 2025 adalah cermin. Ia memantulkan keadaan apa adanya, tanpa sensasi. Papua Pegunungan sedang belajar membaca dirinya sendiri kekuatan, keterbatasan, dan peluangnya. Dari cermin inilah, 2026 hadir sebagai pilihan.

Pilihan untuk berjalan seperti biasa, atau berani menata ulang cara pandang.

Pilihan untuk membangun dengan tergesa, atau melangkah dengan bijak. Pilihan untuk berbicara atas nama masyarakat, atau berbicara bersama masyarakat.

Papua Pegunungan tidak kekurangan potensi. Yang dibutuhkan adalah konsistensi, kepekaan, dan keberanian untuk mendengar.

Jika 2025 menjadi ruang refleksi yang jujur, maka 2026 bisa menjadi ruang harapan yang realistis bukan janji berlebihan, melainkan langkah-langkah kecil yang pasti.

Pada akhirnya, pembangunan bukan soal siapa yang memimpin, tetapi siapa yang dilayani. Masa depan Papua Pegunungan akan ditentukan oleh sejauh mana semua pihak memilih berjalan bersama, bukan saling mendahului.

Jadikan Postingan ini Sebagai Diskusi