Jakarta, Indotimur –
Gubernur Papua, Matius Derek Fakhiri (MDF) mengajukan program ambisius bernama BEBAS, singkatan dari Bersubsidi dan Berasuransi, untuk membantu warga Papua melakukan perjalanan mudik menjelang Natal 2025 dan Tahun Baru 2026.
Usulan ini disampaikan MDF saat bertemu dengan jajaran Kementerian Perhubungan RI di Jakarta. Ia menjelaskan bahwa tantangan geografis Papua dari pulau-pulau kecil hingga pegunungan tinggimembuat biaya transportasi dan mobilitas sosial masyarakat sangat tinggi.
Menurutnya, program ini bukan sekadar bantuan perjalanan, tetapi bagian dari upaya menciptakan keadilan sosial di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Konektivitas bukan hanya soal jalan atau kapal, tapi tentang akses ke layanan publik, penurunan biaya logistik, dan kesempatan yang sama bagi warga Papua untuk bergerak dan berkembang,” ujar Gubernur Fakhiri.
Program BEBAS mencakup subsidi transportasi laut dan darat di sejumlah rute strategis seperti pelabuhan Biak, Serui, Waren, dan Teba, serta jalur darat Jayapura–Sarmi, Genyem–Demta/Kaureh, hingga Biak–Supiori.
Pemerintah provinsi juga meminta dukungan pendanaan dari pemerintah pusat karena kemampuan fiskal daerah belum mencukupi untuk menggarap seluruh agenda konektivitas.
Langkah ini dinilai penting karena Papua masih menghadapi biaya logistik yang tinggi dan akses terbatas ke berbagai layanan dasar.
Bagi MDF, program mudik bersubsidi bukan sekadar soal pulang kampung murah, melainkan cara membuka ruang mobilitas sosial dan ekonomi baru bagi masyarakat yang selama ini hidup di wilayah terisolasi.
Jika berjalan efektif, program ini diharapkan dapat meningkatkan mobilitas warga, memperkuat aktivitas ekonomi di kampung-kampung, serta menekan harga kebutuhan pokok melalui perbaikan distribusi logistik.
Konektivitas yang lebih baik juga diyakini mampu mempercepat pemerataan pembangunan dan memperkuat relasi sosial antara kota dan kampung di seluruh Papua.
Namun, sejumlah tantangan tetap menanti. Kesiapan infrastruktur pelabuhan dan jalan masih menjadi persoalan, sementara faktor pembiayaan, cuaca ekstrem, serta pengawasan subsidi berpotensi menjadi hambatan di lapangan. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada masyarakat yang membutuhkan dan bukan sekadar menjadi simbol kebijakan musiman menjelang libur panjang.
Meski demikian, usulan BEBAS memberi sinyal penting tentang arah pembangunan Papua ke depan. Ia menandai perubahan cara pandang bahwa pembangunan bukan semata membangun jalan dan gedung, melainkan memastikan setiap warga bisa bergerak, terhubung, dan memiliki kesempatan yang sama untuk sejahtera.
“Dengan dukungan pemerintah pusat, kami yakin Papua dapat menjadi wilayah yang lebih terhubung dan sejahtera,” ujar Fakhiri menutup pernyataannya.
Jika program ini terwujud, maka Natal 2025 bisa menjadi momentum baru bagi Papua bukan hanya untuk merayakan pulang kampung, tetapi juga merayakan harapan bahwa jarak sosial dan ekonomi antarwilayah perlahan bisa disatukan oleh konektivitas dan niat baik.





